Elan-Suherlan's Blog

28 Juni 2010

Mencari Tuhan

Filed under: Agama — elansuherlan @ 13:37

Pepatah Jawa mengatakan, Tuhan itu “cedak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan”. Maksudnya, keberadaan Tuhan itu dekat sekali. Lebih dekat Tuhan dibandingkan dengan urat nadi di lehernya sendiri (Q.S 50 :16). Walaupun dekat tapi tak dapat disinggung.

Sebaliknya, kedekatan yang “menyatu” tersebut, sekaligus juga sangat jauh. Jauhnya hingga tak dapat diukur oleh ukuran muatan manusia – semisal milyar tahun cahaya. Bahkan, diperkirakan pun sama sekali tidak dapat.

Walaupun demikian, banyak orang yang mencoba melakukan pencarian terhadap-Nya melalui pergulatan fikiran dan ditulisnya dalam sebuah buku sehingga para pembacanya bisa mengambil manfaatnya, orang seperti itu kita kenal seperti Karen Amstrong, Danah Zohar, Ian Marshal, Hernowo dan penulis hebat lainnya dan hal itu memang “harus” dilakukan . Sedikitnya ada 3 (tiga) alasan yang mendasarinya.

Pertama. Logika sehat tentu akan mengatakan bahwa Tuhan bukanlah sekedar retorika yang diperbincangkan, apalagi diperjualbelikan. Ia bukanlah “mitos” warisan dari para nenek moyang. Melainkan realitas mutlak yang harus diyakini dan diimplementasikan dalam kehidupan. Kebenarannya, secara “pasti” harus bisa dibuktikan dan diterima oleh akal sehat.

Kedua, pencarian akan Jati Diri Tuhan, ternyata dianggap hal yang penting oleh-Nya. Buktinya, kisah pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Ibrahim diabadikan dalam Al-Quran. Hal ini mengindikasikan, memang ada fenomena menarik yang harus dipelajari sekaligus dicontoh oleh umat-umat yang lain.

Ketiga, bagaimanapun status jabatan usia keadaan hamba (mahluk ciptaan-Nya), pasti, endingnya kembali kepada-Nya. Seharusnyalah bila jati dirinya dikenali lebih dulu secara pasti. Jangan sampai kenalnya kepada Tuhan itu hanya duga-duga, kira-kira maupun diangan-angan dari tempat yang jauh. (Q.S 34 : 52)

Di antara bekal yang bisa digunakan dalam melakukan pencarian Tuhan adalah wasiat Imam Ali, “Barang siapa mengetahui dirinya, niscaya diapun akan mengetahui Tuhannya, dan barangsiapa mengetahui Tuhannya, tentu akan mengetahui bodohnya sendiri”. Kalimat tersebut maksudnya, bila sudah mengetahui Tuhan – dalam arti yang “sebenarnya”, maka tentu akan mengetahui bodohnya sendiri.

Silogismanya, “barangsiapa mengetahui dirinya, tentu akan mengetahui bodohnya diri”. Jelasnya, selama kebodohan sendiri belum dapat diketahui, selamanya pula tidak akan dapat mengetahui dirinya sendiri. Sedang untuk mengetahui bodohnya sendiri, kuncinya adalah mengenali Tuhan secara realitas.

Langkah berikutnya (menurut Hernowo), adalah menggunakan SQ (Spiritual Qoutient). Menurutnya –– sebagaimana yang ditulis Zohar maupun marshall, “SQ memberi kita suatu rasa yang ‘dalam’ menyangkut perjuangan hidup. SQ adalah pedoman saat kita berada ‘di ujung’. Selanjutnya terjun ke masyarakat luas. Harus mampu menyatukan diri dengan orang-orang yang menderita. Sebagaimana sapa Tuhan kepada Nabi Musa, “Carilah Aku (Tuhan) di tempat di situ terdapat orang-orang yang hancur hatinya”.

Maksud hancur hatinya adalah orang-orang yang rasa hatinya telah hancur atas perkara-perkara dunia. Rasa hatinya dihancurkan dari mencintai harta jabatan tahta anak-anak wanita kendaraan pilihan maupun berbagai perkara dunia lainnya. Hatinya dipaksa untuk tidak merasakan pegel jibeg susah bungah gelo nelangsa bahagia sengsara dan seabreg istilah hati lainnya. Hatinya juga tidak digunakan untuk mengharap pamrih, baik pamrih “bangsa dunia” (semisal sanjungan, penghormatan, upah/imbalan) maupun pamrih “bangsa akherat” (semisal mengharap pahala, ingin surga dan takut neraka).
Sebaliknya, rasa hatinya dididik dilatih dan diarahkan hanya untuk mengingat-ingat Diri-Nya, mendzikiri-Nya. Dilatih bersamaan dengan keluar masuknya nafas. Sebagaiman firman Nya, “… ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram” (Q.S. 13 : 28).

Suasana hati yang demikian “hancur” tersebut, secara lahiriah tetap sebagaimana lumrahnya manusia. Bekerja berumah tangga bermasyarakat bernegara dan lain sebagainya. Budi pekertinya baik, tidak mudah tersinggung, mudah lapang dada dibarengi dengan “sempurnanya’” ahlak. Bahkan etos kerja maupun etos pikirnya diupayakan seprofesional mungkin, karena disadari bahwa itu semua adalah “syarat mulak” yang harus dikerjakan agar hati ditarik oleh-Nya, yang kemudian hanya mencintai Diri-Nya.
Di akhir cerita, Hernowo menyatakan bahwa Tuhan yang ia cari-cari ternyata belum ia temukan juga. Namun semakin ia yakini bahwa banyak kunci yang dimiliki untuk mencari-Nya. Salah satunya mengarahkan agar mencari Tuhan di dalam dirinya. Tetapi, ia segera menyadari bahwa mustahil memahami sesuatu di luar diri sebelum memahami diri sendiri.

Kesimpulan tersebut memang benar. Tidak akan bisa menemukan Tuhan sebelum mengetahui “kunci mutlak” yang diturunkan dan dijaga sendiri oleh-Nya. Ia adalah Ilmu Dzikir. Firman-Nya, “sesunggunya Kami-lah yang menurunkan adzDzikr dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (Q.S 15 : 9). Ilmu tersebut tidak ada di buku maupun tulisan, melainkan langsung dibawa oleh yang ditunjuk Tuhan sebagai ahlinya.

Sebagaimana perintah-Nya “… fas alu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamuuna” (Q.S 21:7), tanyalah kepada ahli dzikir bila kamu tidak mengetahui bagaimana caranya berdzikir. Sebab, tanpa kesediaan bertanya kepada yang diahlikan oleh Tuhan, maka upaya untuk mengenal Jati Diri Nya “mustahil” dapat tercapai. Relevan dengan sabda Nabi SAW ‘ bila suatu perkara tidak ditanyakan kepada ahlinya, tunggulah kehancurannya”.

diambil dari Buku Revolusi Gagasan “Bertanyalah kepada Ahli Dzikir”
Oleh : Roni Djamaloeddien

Blog di WordPress.com.